Riska Fadhilah |
Alhamdulillah, mars santri As-salam ciptaanku lumayan buat kenang-kenanganku nanti bila aku pulang. Aku ingin berbagi dengan teman-teman santri yang mungkin juga punya talenta dalam bidang seni suara. Jujur saja, aku tak mahir dalam dunia tarik suara, dan temanku mungkin ada yang punya suara bagus hingga mars santri ini bisa di nyanyikan dengan lebih baik. Aku ajak Nalim menyenandungkan laguku ini, tapi Nalim menolak, aku ajak Dion tapi ia juga menolak. Yah sudah, aku simpan saja lagu ini mungkin suatu saat nanti ada yang mau mempopulerkannya. Hidup memang tak selamanya indah dan mudah. Butuh perjuangan yang panjang dalam menapakinya dan menghiasi langkah-langkahnya dengan usaha keras dan selalu mencoba untuk terus berkarya, walau terkadang karya kita tak selalu mendapat respons yang baik.
Aku bangun dari duduk silaku, lalu melangkah ke arah utara untuk kembali ke kobongku. Sampai ke kobong aku melihat Lurah pondok Kang Gunawan berteriak-teriak di depan kobong.
"Seluruh santri, yang sore hari ini piket, segera piket! Daftar piketnya sudah saya tempel di tiap-tiap pintu kobong, harap semuanya bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing. Laksanakan!"
Para santri yang berkumpul di hadapan Kang Gunawan segera bubar dan melihat jadwal piket masing-masing. Aku pun melihatnya sambil berdesak-desak dengan teman-teman sekobongku. Aku lihat Hari kamis dengan daftar nama santri yang piket. Hariyanto, namaku ada di jadwl piket hari ini. Kutaruh kitab-kitabku dan kuganti pakaian. Aku hanya mengenakan kain dan kaus biru serta dengan peci putih di kepala. Aku keluar kobong dan mengambil sapu dan pengki yang ada di bawah pohon mangga di depan kobong. Ada beberapa teman sekobong dan santri kobong lain yang juga piket. Mereka menyebar ke berbagai titik halaman yang banyak sampai daun-daun yang berserakan. Aku melangkah ke depan majlis putih. Dengan sapu lidi dan pengki yang terlihat masih baru itu, aku menyapu dedaunan yang kering itu. Misbah menghampiriku. Dia adik kelasku, Kelas 3 Mts. Dia sudah tiga tahun di pesantren ini, ilmunya sudah cukup mumpuni. Dengan senyum ramah dia menyapaku.
"Kak Hary, mari piketnya bareng saya, saya tidak kebagian pengki, biar saya yang buang sampah dan kak Hary yang menyapu." pintanya. Aku serahkan pengki yang ada di tangan kiriku. Dia menerimanya.
"Baiklah, kerjasama yang baik, akan menjadikan pekerjaan berat terasa ringan." kataku. Misbah tersenyum sambil mengacungkan jempol. "Betul kak, kata-kata yang cukup bijak. hehehe.."
"Biasa saja. itu juga boleh nemu di jalanan.. heheheh..." kataku sambil menyapu dedaunan yang bercampur debu di depan majlis itu. Misbah menimpali lagi.
"Tapi memang apa yang dikatakan kakak itu benar, pepatah arab mengatakan, al ittihaadu quwwatun, persatuan adalah kekuatan, satu lidi tidak akan mampu membersihkan sampah dedaunan ini, tapi bila seratus lidi diikat oleh tali persatuan, dan digunakan sebagai sapu, maka hasilnya bisa kita lihat sendiri, ia bisa membersihkan halaman yang cukup luas ini."
Aku terkesima dengan kebijaksanaannya diwaktu muda seperti ini. Seakan aku menyesal mondok di usia yang sudah masuk tingkat aliyah atau SMA seperti ini. Jika saja aku pesantren sejak 1 MTs seperti Misbah, pasti aku pun telah banyak menyerap kebijaksanaan sepertinya. "Ada tidak perumpamaan selain dari sapu ini Bah?" tanyaku.
"Banyak kak, jika satu ranting ini," Misbah mengambil ranting kayu kecil yang ada di tanah, "dan kita patahkan, maka mudah sekali kita mematahkannya." Misbah mematahkan ranting itu. "Tapi, jika lima ranting kita satukan, maka sulit untuk dipatahkan. dan inilah yang namanya kekuatan." Misbah mengambil lima ranting yang ada di bawah dan dengan sulitnya ia mematahkan semua ranting itu secara bersamaan. "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh." tambahnya.
"Subhanallah, kau benar Bah. ini sampahnya sudah kumpul, kau buang ke tempat sampah di belakang sana.!" kataku. Misbah menurut dan mengeduk sampah itu. Lalu mengumpulkannya di tong sampah. Setelah kumpul ia mengangkat tong itu dan karena badanya agak kurus, ia tak kuat. Aku mendekatinya dan mengangkatnya bersama-sama. "Kerjasama yang baik, akan menjadikan pekerjaan berat, terasa ringan. hehehe" kataku mengulangi ungkapan yang terdahulu. Misbah tertawa kecil sambil mengangguk mengiyakan. aku angkat tong sampah penyu warna hijau itu bersama misbah menuju ke belakang Pesantren. Sampah-sampah itu cukup berat. Beberapa meter aku dan Misbah tak kuat dan mengistirahatkannya sejenak. Sampai ke belakang pesantren, kubuang sampah itu di sana. Tiba-tiba dari arah kobong santri putri terlihat juga dua gadis yang membawa tong untuk membuangnya juga.
Aku sempat terkejut, karena dua gadis itu tiada lain, ialah Aulia dan Riska. Riska adalah teman sekelas Misbah. Aku sedikit gugup, tapi segera mencair setelah Misbah menanyakan sesuatu pada Riska.
"Ris, nanti malam jadi muhadoroh kan?"
Riska Fadhilah tersenyum manis dan menjawab, "Iya, santri putri sedang latihan untuk tampil nanti malam. Kalau santri putra sudah pada siap belum bah?"
"Sudah, kalau santri putra sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari." jawab Misbah. Aku hanya diam saja menatap Riska dan Aulia. Aulia tersenyum dan ikut nimbrung, "Bagus deh, kalau sudah siap sejak lama, kata orang, Naik tanpa persiapan, turun tanpa penghormatan. Jadi dalam tugas apapun, apalagi muhadoroh, segala sesuatunya harus dipersiapkan sebaik-baiknya. Batul kan? kak Hary.." Aulia berpaling padaku dan bertanya. Aku mengangguk dan merunduk, "Iya betul Aulia. Sesuatu yang dipersiapkan dengan serius, akan menuai hasil yang maksimal."
"Betul banget kak Hary, Kak Hary nanti malam mau tampil nggak?" Riska memotong.
"Oh, Tidak Ris, Kak Hary masih belum bisa apa-apa, dan masih harus banyak belajar." jawabku.
"Ya sudah, nanti malam kita laksanakan acara muhadhoroh dengan sebaik-baiknya. Dan insya Allah ada selingannya juga. Mari Teh Lia, Ris, saya dan kak Hary harus mandi dulu, sudah sore." kata Misbah.
Mereka berdua mengangguk dan pergi, Aulia tersenyum manis sekali, matanya berbinar penuh makna. Aku menenangkan detak jantungku yang cepat. Kibaran gelombang jilbab dua gadis itu sungguh anggun. Langkah mereka santai. Aku dan Misbah kembali ke kobong dengan menenteng alat kebersihan itu dan meletakkannya di tempat semula. Mentari petang menguning, awan yang menggunung bertumpuk-tumpuk memantulkan cahaya kuning kemerahan. Beberapa burung peking berkejaran di udara diatas pesantren As Salam yang damai. Aku masuk ke kobong dan mengambil alat mandi dan handuk. lalu kulangkahkan kakiku ke kamar mandi di belakang dapur pesantren. Beberapa santri mengantri sambil mengobrol.
Setelah mandi aku bersiap ke majlis untuk sholat maghrib berjamaah. Santri yang masih kecil biasanya dengan riangnya berlari-lari ke majlis sambil mendekap al Qur'an. Santri putri berjalan berkelompok dengan gaun putih mukenanya, sambil tertawa-tawa kecil dengan teman di sampingnya. Terlihat pak Kiai Ahmad berjalan di halaman depan rumah sambil memutar-mutar tasbih. Penampilan beliau seperti pangeran Diponegoro, memakai baju dan surban putih. Gagah sekali. Aku selalu merasa segan kepada beliau, karena pancaran kharismanya yang kuat. Namun begitu, beliau terkenal sebagai kiai yang tawadhu' dan ramah. Selalu menghormati tamu yang datang, tanpa pandang status sosial sang tamu. Misbah pernah bercerita bahwa, Kiai Ahmad pernah menyuruh menunggu pak Bupati yang bertamu karena masih mengajar ngaji. Beliau terkenal sebagai kiai yang mencintai ilmu dan gemar mengajar. Bahkan katanya, ketika sakit pun beliau sering memaksakan diri mengajar walau hanya sebentar. Banyak teladan yang aku ambil dari beliau.
Aku melangkah ke majlis dengan santrai. Lalu masuk dan duduk sambil tadarusan sedikit. Beberapa santri juga bertadarus. Hingga adzan Maghrib berkumandang.